BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, baik karena letaknya terpencil atau sengaja apatis dengan lingkungan, maka masyarakat tersebut akan menjadi masyarakat yang monolingual dan statis. Sebaliknya, masyarakat yang mampu berbaur dengan masyarakat lain dengan beraneka ragam bahasa maka masyarakat tersebut kemungkinan besar akan menjadi masyarakat yang bilingual. Dalam bahasan makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian bilingual dan hal- hal yang berhubungan dengannya, yaitu diglossia serta perbedaan bilingual dan multilingual.
B. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami tentang:
1. Pengertian Bilingualisme dan Multilingualisme.
2. Pengertian Diglossia.
3. Hubungan Antara Bilingualisme dan Diglossia.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Bilingualisme dan Multilingualisme
Bilingualisme dalam Bahasa Indonesia disebut juga dengan kedwibahasaan. Kata bilingualisme dalam Bahasa Inggris sama dengan bilingualism, secara harfiah adalah penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik bilingualisme mempunyai arti penggunaan dua bahasa dalam pergaulannya sehari- hari secara bergantian.
batasan penggunaan dua bahasa itu ada beberapa pendapat. Menurut Bloomfield dikatakan orang bilingual yaitu orang yang mampu menggunakan dua bahasa, apabila dia bisa mahir dalam dua bahasa secara bersamaan. Baik dalam menggunakan bahasa ibunya (B1) atau bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (B2). Akan tetapi, batasan ini banyak yang tidak menyetujui, sebab tidak mungkin seseorang bisa menggunakan dua bahasa secara sempurna bersamaan. Dalam situasi yang biasa, kesempatan menggunakan B1 lebih terbuka daripada kesempatan menggunakan B2. Atau sebaliknya, seseorang akan mampu menggunakan B2 daripada B1 nya apabila dia hidup dalam lingkungan yang terlepas dari B1 nya, sehingga menjadikan dia lebih mampu menggunakan B2 daripada B1 nya.
Berbeda dengan ungkapan Robert Lado. Dia mengungkapkan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua bahasa bagaimanapun tingkatannya. Sehingga, tidak terikat dengan kata sempurna, meskipun dia tidak sempurna dalam menggunakan dua bahasa tersebut tidak masalah.
Menurut Haugen, seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa tersebut, cukup bisa memahaminya saja. Haugen juga mengatakan, mempelajari B2 tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap B1. Selain itu, seseorang yang mempelajari B2 atau Bahasa Asing, kemampuan B2 nya akan tetap berada pada posisi bawah dari penutur asli bahasa tersebut.
Seseorang yang sedang mempelajari bahasa kedua merupakan seseorang yang berada pada tahap awal, sebab dalam bilingualisme, tahap ini masih tahap sederhana dan masih ada tahap bilingualisme selanjutnya. Sehingga, bila diambil kesimpulan dari beberapa ungkapan di atas, bilingualisme merupakan suatu tahap berjenjang dalam menguasai B1 dengan baik sebab bahasa ibu sendiri ditambah menguasai sedikit B2 dilanjutkan dengan menguasai B2 dengan baik sampai menguasai B2 dengan sangat baik seperti menguasai B1. Jika seorang bilingual sudah mencapai tahap ini, otomatis dia mampu menggunakan B1 dan B2 sama baiknya di mana dan kapan saja.
Menguasai dua bahasa sama artinya menguasai dua sistem kode, hal ini menurut Weinrich. Jika seperti ini, maka yang dimaksud dengan bilingualisme adalah seseorang yang mampu menguasai dua bahasa dan sistem kode. Maksud dari sistem kode adalah menguasai dialek atau ragam dari bahasanya. Berarti, bilingualisme itu bukan langue melainkan parole yaitu berbagai dialek dan ragam. Sekarang, jika yang dimaksud bahasa adalah dialek, maka hampir semua warga Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat yang jumlah anggotanya sedikit dan letaknya terpencil serta di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa mereka sendiri.
Menguasai B1 dengan baik dari pada B2 merupakan hal yang baik, sebab B1 merupakan bahasa ibu. Jika seseorang lebih menguasai B2 nya sebab dia dalam tahapan belajar B2, maka dia akan mengucapkan B1 dengan bahasa dan logat yang mirip dengan B2. Misalnya, orang yang sedang mempelajari B2 yaitu bahasa Inggris dan B1 nya merupakan Bahasa Indonesia, maka dia akan mengucapkan kata “saya” menjadi “syaya” sebab dalam Bahasa Inggris, huruf “s” mengucapkannya agak tebal. Akan tetapi, pada umumnya B2 lebih sering dipengaruhi oleh B1 sebab B1 merupakan bahasa asli.
Bahasa merupakan sarana komunikasi. Adanya beberapa bahasa dan dialek dalam Negara Indonesia disebabkan Indonesia merupakan Negara Bhineka Tunggal Ika, sehingga merupakan hal yang wajar bila penduduknya sebagian besar bilingual. Ada tiga macam komunikasi, yaitu komunikasi internal, internasional dan komunikasi ilmu dan teknologi.
Hubungan bahasa nasional dan bahasa- bahasa daerah di Indonesia bersifat komplementer, yaitu selain menjunjung satu bahasa persatuan dan bahasa Negara juga memelihara bahasa daerah dengan baik, sebab bahasa daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional.
Bilingualisme mempunyai dua tipe, yaitu bilingualitas sejajar dan majemuk. Seseorang yang mampu menggunakan dua bahasa secara penuh dan seimbang disebut bilingualitas sejajar. Sedangkan, seseorang yang sedang belajar B2 setelah menguasai B1 dengan baik, dan B1 nya berpengaruh terhadap proses belajar B2 maka hal ini disebut bilingualitas majemuk. Apabila seseorang sedang mengalami bilingualitas sejajar akan tetapi B2 mempengaruhi B1 nya maka dia mengalami Interferensi atau pengacauan. Sedangkan, jika bisa menggunakan dua bahasa tersebut secara seimbang maka disebut Ambilingualisme yaitu orang yang menguasai dua bahasa dan bisa menggunakannya secara seimbang. Akan tetapi, hal ini jarang ada. Umumnya orang- orang sama baik dalam dua bahasa tapi dalam lapangan kebahasaan (language domain) yang berbeda.
Kemampuan berbahasa mempunyai empat sub kemampuan, yitu berbicara, menyimak atau mendengarkan, membaca, dan menulis. Seorang siswa atau guru pasti akan menonjol dalam menguasai salah satu dari empat sub kemampuan tersebut. misalnya, seorang guru ahli dalam sub kemampuan berbicara dalam Bahasa Arab, akan tetapi kemampuan menyimak atau mendengarkannya kurang baik. Jika kita menyatakan tingkat- tingkat kemampuan dalam bahasa, maka hal ini disebut profil kemampuan.
Selain bilingualisme dalam bahasa juga terdapat istilah multilingualisme. Multilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut dengan keanekabahasaan, yakni penggunaan lebih dari dari dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Pengertian ini juga dapat dimasukkan praktek penggunaan beberapa dialek dari bahasa yang sama, hal ini sesuai yang dituturkan oleh Weinreich.
Multilingualisme ini dapat terjadi pada masyarakat yang terdiri dari beberapa etnik seperti Indonesia, India misalnya mengakui 14 bahasa dalam UUD-nya, Pilipina mempunyai 6 bahasa regional, Nigeria mempunyai tiga bahasa regional, dan lain- lain.
Multilingualisme ini selain mempunyai dampak positif yakni terciptanya negara yang memiliki aneka macam bahasa, juga mempunyai dampak negatif yakni keanekabahasaan itu berlawanan dengan nasionalisme.
Pool (1972) mencoba masalah- masalah yang timbul dengan adanya multilingualisme dengan menganalisis 133 negara atas dasar jumlah bahasa dan Pendapatan Domistik Bruto (GDP), sebagai berikut:
1. Suatu negara dapat saja mempunyai derajat keseragaman bahasa, tetapi tetap menjadi negara tidak berkembang (miskin);
2. Suatu negara yang seluruh penduduknya sedikit- banyak berbicara bahasa yang sama bisa saja sangat kaya atau sangat miskin;
3. Suatu negara yang secara linguistik secara heterogen (beranekaragam) selalu tidak berkembang (miskin) atau setengah berkembang (setengah miskin);
4. Suatu negara yang sangat maju (berkembang) selalu mempunyai keseragaman bahasa yang baik.
Pembahasan tentang multilingualisme di sini tidak akan dibicarakan secara khusus, sebab modelnya sama dengan bilingualisme.
B. Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk istilah masyarakat yang mempunyai dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing- masing mempunyai peranan tertentu. Menurut Ferguson, diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, artinya, selain terdapat ragam- ragam atau dialek- dialek utama dari satu bahasa juga terdapat sebuah ragam lain. Dialek utamanya bisa berupa dialek standar, atau sebuah dialek standar regional. Ragam lain yang bukan dialek utama mempunyai beberapa ciri- ciri, yaitu:
1. Sudah terkodifikasi
2. Gramatikalnya lebih kompleks
3. Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
4. Dipelajari melalui pendidikan formal
5. Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
6. Tidak digunakan oleh lapisan masyarakat manapun dalam kehidupan sehari- hari.
Ada Sembilan topik yang berhubungan dengan diglossia, pernyataan ini sesuai yang dituturkan oleh Ferguson, yaitu:
1. Fungsi
Merupakan kriteria yang sangat penting. Masyarakat diglosis mempunyai dua variasi bahasa dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (T) dan yang kedua dialek rendah (R). dalam Bahasa Arab dialek T adalah bahasa Al- Qur’an dan dialek R nya adalah Bahasa Arab pada umumnya.
2. Prestise
Para penutur masyarakat diglossis biasanya menganggap dialek T lebih superior dan bergengsi dan merupakan bahasa yang logis dari pada dialek R bahkan orang Arab dan Haiti yang terpelajar menganjurkan agar dialek R tidak perlu digunakan, meskipun dalam sehari- hari. Akan tetapi hal ini merupakan sebuah kesalahan, sebab antara dialek R dan T mempunyai fungsi masing- masing yang tidak dapat disamakan.
3. Warisan Sastra
Ketika ada karya sastra menggunakan ragam T maka itu adalah warisan kesusastraan, sebab pada umumnya karya sastra menggunakan ragam bahasa R.
4. Pemerolehan
Ragam bahasa T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan untuk memperoleh ragam bahasa R cukup dengan memperhatikan pergaulan sehari- hari. Oleh karena itu mereka yang tidak pernah merasakan pendidikan formal tidak akan bisa dan tidak akan mengetahui ragam bahasa T. dalam masyarakat diglossis banyak yang beranggapan bahwa ragam bahasa R merupakan ragam bahasa yang tidak memiliki tata bahasa
5. Standarisasi
Wajar jika ada standarisasi, sebab ragam t merupakan ragam yang bergengsi, sehingga standarisasi dilakukan melalui kodifikasi formal. Misalnya ditulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, petunjuk lafal, dll. Sedangkan ragam R tidak.
6. Stabilitas
Perbedaan antara ragam R dan T dalam masyarakat diglossis selalu ditonjilkan karena adanya perkembangan bentuk- bentuk campuran yang memiliki ciri- ciri ragam T dan ragam R. peminjaman leksikal ragam T ke dalam ragam R merupakan bentuk yang biasa. Tetapi penggunaan ragam R ke dalam ragam T merupakan tidak biasa, sebab akan digunakan jika dalam kondisi terpasa saja.
7. Gramatika
Ragam T dan ragam R dalam diglossia merupakan bentuk- bentuk dari bahas yang sama, namun tetap ada perbedaan dalam gramatikanya. Dalam ragam T terdapat kalimat- kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tapi dalam ragam R dianggap artifisial.
8. Leksikon
Sebagian besar kosakata ragam R dan ragam T sama, namun, ada kosakata ragam T yang tidak ada pasangannya dalam ragam R dan sebaliknya.
9. Fonologi
C. Hubungan Bilingualisme dan Diglosia
Fishman megatakan bahwa ada empat pola hubungan antara diglosia dan bilingualisme, yaitu:
1. Diglossia dan Bilingualisme
Situasi seperti ini jarang ada tapi mungkin terjadinya. Pada situasi ini, masyarakat berkomunikasi dengan lebih dari satu kode yang diakui secara nasional. Selain terdapat perbedaan fungsi- fungsi antar kode, juga terdapat kesepakatan bahwa satu kode yang lain mempunyai nilai yang tinggi daripada yang lain. Misalnya dalam bahasa masyarakat Puruguay. Dalam bahasa Guarani dianggap bahasa L yaitu bahasa status, sedangkan bahasa Spanyol merupakan bahasa H yaitu bahasa non status. Contoh lain adalah di Negara Arab yang terdapat Bahasa Arab pasaran dan Bahasa Arab klassik.
2. Diglossia Tanpa Bilingualisme
Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang relatif umum sebab keanggotaan suatu kelompok diperoleh dari hal baru atau kelahiran yang tidak mudah hilang. Masalah yang paling bahaya dalam kondisi seperti ini adalah masyarakat elite lebih memilih untuk mengisolir diri dari populasi yang lain yang diajak berkomunikasi, artinya kita harus menggunakan bahasa yang berstatus tinggi jika ingin berkomunikasi dengan mereka. Sehingga, masyarakat elit lebih memilih tidak berkomunikasi dengan masyarakat yang menggunakan bahasa setempat.
3. Bilingualisme Tanpa Diglossia
Hal ini dicontohkan pada masyarakat Belgia, terutama bagi mereka yang tinggal di perbatasan belanda dan Perancis. Secara tidak langsung mereka akan menggunakan bahasa Belanda dan perancis secara bersamaan dalam kehidupan sehari- harinya dan kedua bahasa tersebut juga termasuk dalam Bahasa Resmi Nasional, sebab tidak ada kesepakatan mana yang termasuk bahasa utama dan bahasa kedua.
4. Tidak Bilingualisme dan tidak Diglossia
Masyarakat yang tidak bilingualisme dan tidak diglosia hanya mempunyai satu bahasa tanpa variasi serta dapat digunakan segala tujuan. Keadaan seperti ini hanya ada pada satu masyarakat yang primitif dan sangat sulit ditemukan. Masyarakat ini akan mencair apabila mereka telah bersentuhan dengan masyarakat lain.
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas maka hanya ada dua yang stabil yaitu diglossia dan bilingualisme dan diglossia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglossia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualismenya.
BAB III
Kesimpulan
· Bilingualisme dalam Bahasa Indonesia disebut juga dengan kedwibahasaan. Kata bilingualisme dalam Bahasa Inggris sama dengan bilingualism, secara harfiah adalah penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik bilingualisme mempunyai arti penggunaan dua bahasa dalam pergaulannya sehari- hari secara bergantian.
· Bilingualisme mempunyai dua tipe, yaitu bilingualitas sejajar dan majemuk.
· Ambilingualisme yaitu orang yang menguasai dua bahasa dan bisa menggunakannya secara seimbang.
· Multilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut dengan keanekabahasaan, yakni penggunaan lebih dari dari dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
· Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie. Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk istilah masyarakat yang mempunyai dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing- masing mempunyai peranan tertentu.
· Fishman megatakan bahwa ada empat pola hubungan antara diglosia dan bilingualisme, yaitu:
1. Diglossia dan Bilingualisme.
2. Diglossia Tanpa Bilingualisme.
3. Bilingualisme Tanpa Diglossia.
4. Tidak Bilingualisme dan Tidak Diglossia.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Nababan, P.W.J. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro.
Sumarsono. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
T.Bell, Roger. 1995. Sosiolinguistic Goals, Approaches and Problems. London: B.T. Batsford LTD.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



